Mari menyendiri. Di mana saja. Tidak harus di bawah naungan bintang atau matahari senja. Kamu bisa menyendiri di atas meja kamarmu, kantormu, bahkan di tengah pasar malam atau bandara yang ramai.
Menyendiri, kata seseorang, adalah keahlianku. Aku tampak tampan saat melakukannya. Katanya aku menyendiri seperti konduktor yang menundukkan suara semesta (deru motor, klakson mobil, suara peluit tukang parkir, suara ondel-ondel) berorkestra membantu mengkhusyukkan konser kesendirianku yang gegap gempita.
Tentu saja bukan keahlian yang bisa ditulis di Curriculum Vitae.
Menyendiri adalah cara cerdas menyelamatkan harga diri di ujung hari. Setidaknya aku bisa melakukan penawaran dalam diam, merayu agar kuterima saja kekalahan melawan hari ini dengan lapang dada.
Sendiri adalah awal mula dan akhir cerita. Bayi-bayi lahir, orang-orang meninggal dan dikubur, juga sendiri-sendiri. Tak ada yang bawa teman.
Sendiri adalah niscahya. Kelak aku akan tua dan ditinggalkan anak yang kubesarkan dengan cemas dan buku tentang luar angkasa. Mungkin aku akan menunggu kapan akhir pekan, kapan lebaran. Kesendirianku akan penuh riak doa dan cinta. Entahlah, rencana hari tua seharusnya tidak sejanggal ini untuk diceritakan.
Bulan selalu sendiri. Dan dia baik-baik saja.