Saat di Sekolah

Aku lupa.

Aku sudah berusaha mengingat, melihat ke direktori masa lalu, mencari keping kenangan semasa di sekolah tentang siapa sosok guru yang paling kuingat.

Aku tidak menemukan.

Aku gusar, seharusnya ada. Ada satu guru yang membekas di hati. Tapi jangan salah, aku bisa menyebutkan semua nama guruku, warna bajunya ketika mengajar di kelas pertama, cara mereka duduk, cara memberikan penjelasan, tugas-tugas yang pernah diberi. Guru matematika, guru sejarah, guru bahasa Indonesia, guru agama. Aku mengingat dengan baik.

Ingatan-ingatan itu kemudian secara asing membuatku sedih.

Sepertinya, aku tidak pernah benar-benar merasa menemukan guru spesialku. Tidak ada yang pernah membuatku merasa spesial. Tidak pernah ada guru yang terlibat secara emosional padaku, dan saat itu ingin aku dekat dengannya. Yang darinya aku benar tergerak untuk bercita-cita, menginspirasi untuk melakukan sesuatu yang bermakna.

Kebanyakan hal-hal seperti itu kudapat dari buku yang kubaca dan interaksi di luar kelas.

Aku mengenal guru-guruku dengan sekat-sekat yang kubangun. Tak ada sentuhan istimewa.

Seorang teman yang pengajar dengan pengalamannya mengajar selama lima tahun pernah bercerita bahwa ia hanya bisa mengingat dua tipe murid saja: yang pintar dan yang nakal.

Dari situ kemudian aku berpikir.

Aku dulu jadi anak sekolah biasa-biasa saja. Tidak terlalu pintar apalagi nakal. Tidak tidur di kelas. Tidak pernah melanggar aturan, tidak neko-neko. Sama saja dengan ratusan siswa lain. Hm, tidak cukup unik untuk diingat gitu.

Bukan juga anak Olimpiade, peringkat 1 paralel, dsb. Walau selalu peringkat 5 besar di kelas sejak SD-SMP, dengan sekali rangking 1 saat SD, tetap aku bukanlah yang terpintar. Saat SD – SMP, aku lebih dikenal bukan karena aku dan prestasiku, atau aku sebagai anak OSIS. Guru-guru mengenalku, nginceng aku, bukan karena beneran berbakat, tapi karena kebetulan anak ragilnya Pak Lukman. Mantan Kepsek 25 tahun di SMP itu. Anisah anaknya Pak Lukman.

Apalagi saat SMA. Prestasi akademik terbaikku adalah rangking paralel ketiga di 2 kelas IPS. Ketiga. Bukan kesatu. Aku selalu masuk 10 besar saja. Bukan pertama.

Aku ingat dulu adalah remaja yang mudah stress. Aku bisa nangis semalaman karena remidi. Diari SMA-ku selain catetan mentoring, isinya adalah motivasi-motivasi untuk menjadi yang terbaik. To do list “belajar, belajar lagi. Jangan menyerah.” ada di berbagai lembar.

Tapi tidak juga jadi yang pertama.

“Dunia hanya mengingat yang pertama. Pemenang lomba paling diingat? Adakah sejarah menulis siapa yang juara kedua ketiga? Tidak ada.”

Jadi, mungkin karena aku bukanlah yang pertama, tidak ada guru yang tertarik dan mengingatku.

Mengingat fakta ini, aku cukup sedih.

Aku sedikit banyak mahfum dengan kompleksnya masalah pendidikan kita, sehingga cukup utopis rasanya jika berharap guru -guru kita akan memimpin kelas dengan siswa yang lebih sedikit, beban mengajar yang dikurangi sehingga guru bisa lebih mengembangkan dirinya, mengenal dan menemukan potensi anak didiknya, menumbuhkan percaya dirinya, memantik pengetahuannya…. secara personal.

Aku menemukan guru seperti itu, yang setidaknya pernah percaya padaku bahwa aku bisa, justru bukan di institusi formal sekolah. Aku menemukannya di sebuah lembaga kursus: Pak Irfan Rifai.

Aku sedih karena sampai hari ini, mungkin banyak anak di sekolah-sekolah kita yang merasa dirinya tak pintar, biasa saja, tidak berbakat, bingung, dengan berjubel mata pelajaran yang harus dikuasai. Merasa tidak istimewa.

Menjadi pembelajar seumur hidup, berarti siap untuk belajar kepada siapa saja, dimana saja. karena semua guru, semua murid.

Aku selalu berdoa dimana nantinya anak-anak di sekolah akan dibimbing oleh guru-guru idealis yang memantik keingintahuan dan mempercayai kemampuan mereka, serta menganjurkan berkompetisi dengan melihat perbandingan diri sendiri saja. Sehingga nantinya anak-anak ini akan menjadi anak yang tangguh secara ruh dan jasad, paham potensi dan peran yang ingin diambil, serta tumbuh menjadi manusia yang bijaksana

Semoga.