Rumah ini harus ramai. Ramai dengan suara tv, dengan suara ngaji di ruang tengah, dengan suara keras orang yang sedang menelepon.
Rumah ini harus ramai.
Tak boleh sepi. Kalau sepi, jadinya seperti kuburan.
Ia tidak mau kesepian, karena kesepian mengingatkannya pada kuburan.
Rumah ini tak boleh diam setelah maghrib, ia harus terus bersuara, menggeliat, mengeluarkan bunyi ceracau pun tak masalah.
Harus ada suara. Harus ada suara.
Karena menurutnya suara adalah pertanda adanya kehidupan. Pertanda bahwa kamu ada, hadir.
Aku sedih karena rasanya ia harus menelan lagi kesepian bulat-bulat.
Rumah ini selalu sepi. Meskipun aku disana. Ya, karena aku memang pendiam. Eh, tidak-tidak. Aku sering kok berbicara, tapi dengan bahasa lain, tidak hanya lewat mulut.
Kemudian aku berpikir, nanti, rumah ini mungkin akan semakin sepi– benar-benar seperti kuburan ketika aku pergi. Membuat memori? Rasanya nanti akan sama saja.
Rumah ini teralu sepi. Sedangkan ia tidak suka sepi, karena sepi mengingatkannya pada kesendirian. Harus ada suara, harus ada suara. Ia akan damai saja berteman dengan suara, pesannya, jangan dengan suara gelegekan panjang saja ia bersama.